Sejenak Di Cikini


Siapa sangka, Cikini ternyata menyuguhi  remah-remah sejarah masa lalu Kota Jakarta yang sebagian masih bertahan menjadi bagian dari hiruk pikuk Kota Metropolitan.

Belajar tentang sejarah, khususnya tentang sejarah kemerdekaan Indonesia dan sejarah kota Jakarta tidak melulu harus melalui buku. Sejenak menyusuri Cikini akan membawa kita kembali ke masa lalu tempat akar-akar sejarah itu berada yang akan menumbuhkan rasa cinta kepada Jakarta dan Indonesia.

Cikini, salah satu daerah di Jakarta Pusat mungkin tidak terlalu terkenal diantara daerah-daerah lain di Jakarta. Beberapa teman saya bahkan bertanya, “Ada apa di Cikini?” ketika mendengar rencana saya menyusuri Cikini. Di hari Sabtu yang cerah, saya memulai perjalanan saya di Cikini di Gedung Joang’45. Gedung yang tampak tua namun kokoh itu menyambut saya dengan angkuhnya.

Gedung Joang ’45 atau yang disebut juga Museum Joang ’45 dibangun pada tahun 1920an. Pada jaman penjajahan Belanda, gedung ini dikenal sebagai Hotel Schomper, yaitu hotel yang dikelola oleh keluarga L.C Schomper, yaitu seorang Belanda yang tinggal lama di Batavia. Pada tahun 1942, sewaktu Jepang menguasai Batavia, Hotel Schomper diambil alih oleh para pemuda Indonesia. Hotel Schomper lalu dijadikan kantor yang dikelola oleh Ganseikanbu Sendenbu. Di kantor inilah para pemuda Indonesia diberikan pendidikan politik yang dibiayai oleh pemerintah Jepang pada masa itu.

Koleksi di Gedung Joang’45 adalah barang-barang peninggalan pejuang Indonesia. Salah satu benda koleksi yang menjadi favorit saya adalah sebuah mesin jahit yang dahulu kerap dibawa oleh Laskar Wanita (Pejuang Wanita Indonesia) untuk menjahit baju para pejuang Indonesia. Tidak bisa dibayangkan bagaimana laskar wanita membawa mesin jahit di tengah medan pertempuran yang keras dan berpindah-pindah itu. Selain mesin jahit, baju dan juga peralatan makan Laskar Wanita dipamerkan di gedung ini. Hal ini menandakan bahwa kaum wanita juga mempunyai andil besar dalam perjuangan kemerdekaan Indonesia.

Gedung Joang ’45  mempunyai koleksi andalan berupa mobil dinas resmi Presiden dan Wakil Presiden RI Pertama dengan plat nomor mobil REP 1 dan REP 2. Selain itu juga ada mobil yang menjadi saksi pada penembakan Bung Karno ketika sedang mengantarkan anaknya bersekolah di Perguruan Cikini.

Dari Gedung Joang’45 saya melanjutkan perjalanan ke Kantor Pos Cikini dengan berjalan kaki. Kantor Pos Cikini terletak di pertigaan Jl Cikini dan Jl Kalipasir yang cukup ramai. Pada jaman Belanda, kantor ini disebut juga Tjikini Post Kantoor. Sayang, Kantor Pos Cikini tutup di akhir Minggu sehingga saya tidak bisa melihat interior kantor pos yang pada jaman dahulu sering dipergunakan untuk berkirim surat oleh warga Batavia ini.

Menyusuri ruko di Jalan Cikini seakan membuat kita terlempar sejenak ke masa lalu, dimana Jakarta masih bernama Batavia. Di deretan ruko yang masih menyisakan penggambaran arsitektur Belanda ini, tentu dulu sering berseliweran Meneer dan Mevrouw yang sedang menikmati sore di Kota Batavia. Salah satu toko yang paling dikenal adalah kafe Bakoel Koffie. Bakoel Koffie dahulu dikenal dengan nama Toko Tek Sun Ho yang berdiri sejak tahun 1878. Logo Bakoel Koffie yang berupa perempuan dengan bakul di kepalanya terinspirasi dari seorang perempuan dengan bakul di atas kepalanya yang kerap mengirimi Tek Siong biji kopi segar yang akhirnya dijual dengan label Tek Sun Ho. Di era tahun 1965, Toko Tek Sun Ho berganti nama menjadi Warung Tinggi. Pada tahun 2001, keluarga penerus Tek Sun Ho melahirkan nama baru untuk kedai kopi ini menjadi Bakoel Koffie yang terkenal sampai sekarang. Menyesap segelas Cappuccino hangat sambil menikmati suasana lewat jendela Bakoel Koffie akan dapat menyemarakkan lamunan tentang masa lalu.

Setelah berjalan sambil melihat-lihat toko-toko dari balik jendela, sampailah saya di Toko Roti Tan Ek Tjoan. Roti Tan Ek Tjoan adalah perusahaan roti tertua yang lahir pada tahun 1930an di Bogor. Di Jakarta sendiri, tepatnya di Jalan Cikini Raya No. 61, Tan Ek Tjoan mulai beroperasi sejak tahun 1958. Kelezatan roti coklat buatan Tan Ek Tjoan tidak kalah lezat dengan roti-roti impor yang sedang menjamur di mal saat ini. Kelembutan rotinya dengan coklat manisnya pas sangat serasi berpadu. Roti isi daging juga patut untuk dicoba. Dagingnya sangat gurih dan terasa enak membuat lidah saya bergoyang dengan asyiknya. Selain Tan Ek Tjoan, ada satu lagi Toko Roti yang saya lewati. Toko Roti Maison Benny. Toko roti ini sudah ada sejak tahun 1957 dengan spesialisasi kue tart yang menggunakan resep khusus dari Belanda.

Planetarium Jakarta merupakan pemberhentian terakhir saya di Cikini. Planetarium tertua ini berdiri pada tahun 1964 atas prakarsa dari Presiden Soekarno. Disini saya menonton salah satu film tentang tata surya di Teater Bintang. Saya disuguhi film tentang tata surya dan benda-benda langit lain seperti komet dan meteor. Planetarium Jakarta berada di kompleks Taman Ismail Marzuki yang dulu dikenal sebagai ruang rekreasi umum Taman Raden Raleh. Di kompleks Taman Ismail marzuki ini selain terdapat Planetarium Jakarta, juga terdapat Institut Kesenian Jakarta, enam teater modern, balai pameran, galeri, gedung arsip dan bioskop.

Cikini menyimpan pesona tersendiri karena ternyata masih menyimpan potongan episode cerita Jakarta di masa lalu. Di tengah gempuran metropolitas Jakarta, segelintir saksi-saksi sejarah tertatih berusaha untuk tetap eksis menetapkan langkahnya di hiruk pikuk Cikini.

*Pernah diposting di Blog saya yang lain

2 thoughts on “Sejenak Di Cikini

Leave a comment