Menapak Kesunyian Stasiun Tanjung Priok

Entah bisikan apa yang merasuki sehingga saya tiba-tiba kepengen banget foto-foto di Stasiun Tanjung Priok. Padahal waktu tahu lokasinya di dekat Pelabuhan dan Terminal Tanjung Priok nyali sempet ciut juga. Tapi bukan Uniey namanya kalo engga nekat dan jadilah di Minggu Siang yang menyengat saya mengunjungi Stasiun Tanjung Priok.

Berbeda dengan situasi luar stasiun yang panas dan hiruk pikuk khas terminal, Stasiun Tanjung Priok sepi dan teduh. Loket yang mengapit pintu masuk tutup semua. Pas saya masuk ke peron, barulah ada beberapa gelintir orang. Ada yang lagi duduk-duduk, mengobrol dan banyak yang tidur.  Stasiun Tanjung Priok di minggu siang memang sepi karena tidak ada perjalanan kereta. Angin sepoi-sepoi yang masuk ke peron bikin ngantuk. Tidak heran banyak juga orang yang geletakan tidur di lantai peron hanya beralaskan koran.

Ketika memasuki peron stasiun, saya langsung suka dengan atap stasiunnya. Terdiri dari tiang-tiang besi bersusun-susun, tinggi dan artistik sekali. Atmosfir bangunan peninggalan Belanda langsung terasa. Lantai peron berupa lantai keramik putih yang kontras dengan rel kereta di kanan-kirinya. Di lintasan tengah ada rangkaian roda kereta tanpa gerbongnya yang masih tampak baru. Cuma ada satu rangkaian kereta api yang parkir. Entah masih bisa jalan atau udah rusak. Waktu saya iseng mengintip, bagian dalam gerbongnya kotor. Kayaknya sih ini kereta barang, soalnya engga ada kursi penumpangnya.

Di ujung peron ada menara pengawas yang masih dipertahankan dari bangunan lamanya. Jendela atas menara terbuat dari kayu dengan bentuk jendela yang kuno.  Seru kali ya kalo bisa naik ke menara pengawasnya. Sayang pintunya dikunci jadi saya cukup puas foto-foto luarnya saja.  Menurut informasi di internet, Stasiun Tanjung Priuk ini dulunya juga dilengkapi hotel, sehingga ada ruang dansa, bahkan bunker segala. Tapi engga ada tanda-tanda atau petunjuknya gitu sih jadi engga bisa dilihat deh.

Saya yakin banyak cerita-cerita dari stasiun megah ini. Tapi karena Keterbatasan informasi dan narasumber membuat cerita-cerita seputar masa lalu Stasiun Tanjung Priuk cuma bisa dibaca di internet saja. Padahal Stasiun Tanjung Priok sudah dijadikan Bangunan Cagar Budaya oleh pemerintah, loh. Cuma ada sebuah papan yang berisi tulisan-tulisan sejarah stasiun dengan foto-foto jaman dahulunya. Padahal kan kalo pas kita kesana, ada guidenya trus diceritain lengkap jadi seru ya. Dikelola serius gitu. kalaupun harus membayar biaya masuknya tidak masalah kok menurut saya.

Oh iya, ada cerita konyol. Jadi ya setelah saya hampir kelar foto-foto, saya dipanggil oleh satpam stasiun. Berikut percakapan yang terjadi :
Satpam : “Adek dari mana ya? disini tidak boleh foto-foto”
Saya : “loh, saya engga tau pak kalo engga boleh foto-foto. Engga ada tulisannya kok”
Satpam : “Iya, ini sekarang sudah jadi bangunan cagar budaya, jadi tidak boleh foto. Kalo mau foto harus ada ijin dari pusat”
Saya : ……..

Saya baru tau kalo bangunan cagar budaya engga boleh difoto. Ada yang bisa menjelaskan kenapa bangunan cagar budaya tidak boleh difoto? ada aturannya kah?. Sayang banget ya kalo memang tidak boleh foto-foto di Stasiun Tanjung Priuk secara dia termasuk dalam 12 Jalur Destinasi Wisata Pesisir Jakarta Utara. Ah, untung aja saya sudah foto-foto disana. Hohohoho. Berikut foto-fotonya…

16 thoughts on “Menapak Kesunyian Stasiun Tanjung Priok

      • Waww…terima kasih mbak šŸ™‚ Iya bener, aku juga kalo ada komunitas yang mau kesana aku mau ikut dengerin ceritanya, mbak.
        Hehehe, foto tampak depannya ada mbak, tapi keburu-buru takut disamperin satpam lagi jadinya kurang oke. Aku pengen ke rumah si Pitung deh mbak. Udah pernah kesana belum?

        Like

  1. Jakarta..oh Jakarta.. Lebih tepatnya Indonesia..

    Harusnya tempat-tempat yang boleh dikunjungi secara publik, boleh dong kita mengambil fotonya.. Foto sendiri yang mengenalkan suatu tempat, foto sendiri yang menjadikan suatu tempat juga memiliki daya tarik wisatawan.. Bukan hanya disitu saja sih, sekarang hampir dimana-mana yang notabene merupakan ruang publik ngga boleh untuk ambil foto.. capedeh..

    Okelah, sekarang kalau mau jadi warganegara yang baik, kita mau urus ijinnya. Saya yakin, itu ngga ada aturan mainnya, kontaknya ke siapa, tanda terimanya seperti apa, dan terkesan dipersulit. Sehingga memancing orang untuk “ngasih” ke penjaga tempat.

    Nego dikit ke satpamnya kasih duit 20ribuan dikasih ngga ya kira-kira?

    Banyak calon-calon fotografer-fotografer berbakat di Indonesia, yang terbatas mengaktualisasikan ide-ide dan karya fotografinya. Padahal nantinya juga untuk kepentingan wisata pasti bisa berdampak positif.. Contoh, di Singapura, mana ada ruang publik yang tidak boleh difoto, bahkan dari cerita beberapa teman saya, di hotel tertentu malah mempersilahkan untuk difoto, supaya bisa dijadikan promosi “mulut ke mulut” atau melalui blogs-blogs semacam ini..

    Salam,

    Like

Leave a comment