Bulan Februari lalu, saya dan Nevy Elysa melakukan perjalanan tahunan alias Birthday Trip ke Dieng, Wonosobo. Seminggu sebelum perjalanan, saya baru inget kalo ritual perjalanan tahunan saya akan segera dimulai. Langsung deh grabak grubuk cari destinasi yang akhirnya diputuskan ke Dieng. Kenapa Dieng? Karena pengen liat sunrise di bukit. Itu aja sih J. Destinasi dapet, cari temen jalan. Beruntung saya punya temen yang “murahan” kalo diajak jalan. Cuma di whatsapp “Wei, ke Dieng yuk mingdep” langsung iya aja. H-5 keberangkatan baru beli tiket pp dan H-2 baru liat info sekilas, berangkatlah kita ke Dieng.
Dieng yang merupakan dataran tinggi yang terletak di Wonosobo, Jawa Tengah ini adalah tujuan wisata yang serba komplit, serba murah, serba indah dan serba eksotik. Dari arti nama Dieng yang berarti ‘tempat bersemayam para dewa dan dewi’ maka sudah dapat dipastikan kalau Dieng itu luar biasa cantik. Nah, salah satu tempat yang wajib kamu kunjungi di Dieng yang istilahnya jaman sekarang “instagramable banget” adalah Batu Ratapan Angin.
Selepas dari hunting sunrise di Bukit Sikunir, kami diantar naik motor ke Batu Ratapan Angin. Dari parkiran motor kita harus jalan sedikit untuk mencapai Batu Ratapan Angin yang merupakan dua buah batu besar diatas bukit. Saya dan Nevy memilih batu yang lebih rendah mengingat kaki yang pegal sehabis trekking ke Bukit Sikunir. Dari Batu Ratapan Angin ini kita bisa melihat dengan jelas Telaga Warna dan Telaga Pengilon yang dikelilingi oleh pepohonan. Cuaca di Bulan Februari yang menyisakan sedikit kabut dan langit yang kelabu membuat dominasi warna hijau pepohonan di sekeliling telaga warna menjadi sangat pekat. Indah sekali.
Jika kita duduk diatas Batu Ratapan Angin kita akan mendapatkan suasana yang sunyi dan sejuk dan sesekali telinga kita akan dibelai oleh suara angin menerpa batu. Damai rasanya. Saya dan Nevy sepakat kalau Batu Ratapan Angin adalah tempat yang cocok untuk “menggalau’’. Bhihikk 🙂
Ternyata, selain keindahannya, ada cerita di balik Batu Ratapan Angin yang saya dapatkan dari hasil berselancar di internet. Ceritanya begini,
Pada jaman dahulu kala ada seorang pangeran tampan dan putri jelita yang hidup rukun damai dan penuh cinta. Seiring perjalanan waktu, kisah cinta mereka mendapat cobaan dengan hadirnya orang ketiga yang menggoda sang putri. Sang putri terjerat dalam hubungan asmara terlarang. Lambat laun cerita perselingkuhan tersebut sampai ke telinga pangeran yang akhirnya menyelidiki kebenaran cerita tersebut.
Betapa terkejutnya sang pangeran mendapati dengan mata kepalanya sendiri sang putri berselingkuh. Sang Putri sambil menangis dan meratap memohon maaf pada sang pangeran. Sang pangeran menjadi murka dan mengutuk keduanya menjadi batu. Sang Putri menjelma menjadi menjadi batu yang terduduk dan kekasih gelapnya menjadi batu yang berdiri. Konon suara angin yang menerpa batu seperti bunyi ratapan merupakan tangisan ratapan sang putri yang memohon maaf kepada pangeran.
Sayang datangnya pas cuaca kurang bagus kayanya ya. mbak 🙂 mungkin klo datang di pertengahan agustus potonya bakal lebih keren lagi hehe
LikeLike
dulu pas zaman kuliah jur geografi mungkin hampir 3x maen kesini. mungkin sekarang udah beda kali ya tempatnya:)
LikeLike
Wah dulu pasti masih alama banget tuh kak.
LikeLike